Coral Bleaching di Indonesia (2009-2010)


Seiring dengan perkembangan zaman, peningkatan kadar CO2 semakin hari semakin meningkat sehingga berakibat juga pada peningkatan suhu terutama suhu permukaan laut. Dampak ini akan berakibat fatal dengan pertumbuhan terumbu karang. Dengan meningkatnya suhu permukaan laut (SPL), maka akan menyebabkan coral bleaching dan coral disease pada karang. Coral bleaching merupakan perubahan warna jaringan pada terumbu karang dari warna hijau atau coklat menjadi warna putih pucat. Pemutihan karang dapat berakibat kematian pada karang. Di Indonesia terjadi pemutihan karang pada tahun 1997-1998  yang diakibatkan oleh ENSO.

Selain terjadinya Coral Bleaching pada karang, peningkatan suhu juga meningkatkan laju pertumbuhan patogen karang, seperti bakteri dan mikroba yang lain, sehingga peningkatan terjadinya penyakit karang disebabkan karena meningkatnya patogen dalam lingkungan yang istilah ini sering dinamakan coral disease.

Selain dari pengaruh suhu permukaan laut, parameter fisika kimia lingkungan juga sangat berpengaruh pada terumbu karang. Antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Parameter fisika kimia yang berpengaruh pada pertumbuhan terumbu karang antara lain, arus, salintas, kecerahan, nutrien (nitrat, nitrit dan fosfat), dan kedalaman. Terjadinya coral disease/bleaching bisa juga disebabkan oleh parameter fisika kimia perairan dimana tidak terlihat jelas oleh kasat mata proses yang terjadi. Sangat penting mengkaji hubungan yang terjadi antara kualitas perairan dengan coral bleaching/disease yang terjadi disuatu perairan.

Terumbu karang sangat rentan untuk prediksi perubahan iklim karena sangat cepat terjadi proses pemutihan (bleaching) ketika Suhu permukaan laut meningkat. Karang bisa hidup pada thermal treshold (kisaran suhu diatas rata-rata), dan apabila meningkat dari 1 – 20C diatas rata-rata suhu/bulan maka akan mengakibatkan bleaching massal (Hoegh-Guldberg, 1999). Potensial peningkatan suhu permukaan laut di tahun 2050 adalah 1 – 30C (Hoegh-Guldberg, 1999).

Salah satu prediksi dampak dari perubahan iklim adalah coral bleaching (pemutihan pada karang),  yang mana hal ini disebabkan karena gangguan yang terjadi hubungannya dengan simbiosis antara polip karang dan zooxanthellae yang ditandai dengan keluarnya zooxanthellae dan kehilangan pigmen-pigmen fotosintesis. Stress pada karang lebih banyak disebabkan oleh pengaruh percampuran air tawar dengan air laut, polusi, sedimentasi, penyakit dan yang terpenting adalah perubahan suhu dan pencahayaan. Jika faktor stress berlangsung dalam jangka waktu lama, terumbu karang akan mengalami penurunan  laju pertumbuhan dan fekunditas (kesuburan). Bahkan cenderung akan mengalami kematian. Fenomena bleaching sangat tergantung pada lokasi, kondisi lingkungan, musim atau komposisi spesies karang. (Douglas, 2003).

Pemantauan yang di lakukan melalui satelit aqua modis mengetahui SST untuk melihat area yang beresiko terjadinya coral bleaching. SST yang lebih tinggi dari suhu normal sebagai syarat hidup coral reef.  Suhu optimal untuk hidup coral berkisar antara 24-29 oC dan setiap spesies coral memiliki “bleaching threshold” yang spesifik (Juliann Krupa).  Karang bisa hidup pada batas suhu tertentu. Anomali positif sebesar 1 – 2 0C selama 5 – 10 minggu saat musim panas dapat menyebabkan “bleaching” (Buchheim, 1998).

Observasi tentang coral disease/bleaching dan hubungannya dengan parameter fisika kimia perairan yang terjadi di Indonesia belum banyak dilakukan. Perlu Adanya kajian lebih lanjut tentang itu guna mendukung data base tentang coral disease dan bleaching yang terjadi di Indonesia. Balai Riset dan Observasi Kelautan – SEACORM (South East Asia Center for Ocean Research and Monitoring) sebagai salah satu UPT dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan merasa perlu mengadakan kajian lebih lanjut guna mengetahui parameter mana yang paling berpengaruh pada  ekosistem terumbu karang. Yang menjadi lokasi riset: Taman Nasional Bunaken, Taman Nasional Wakatobi dan Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat (Tahun 2009).

Adapun hasilnya sebagai berikut:

Di daerah KKP Raja Ampat suhu rata – rata bulanan tertinggi selama 2003 – 2009  terjadi pada musim peralihan satu di bulan April sebesar 30,54 oC (Anomaly : -2,54 – 0,63oC); (Prevalence: 5m=30,67%; 10m=23,50%). TN Bunaken Suhu rata – rata bulanan tertinggi pada peralihan musim timur : 30,36 oC 9 (Anomaly : -4,28o – 0,47oC) di bulan Mei (Prevalence: 5m=55,47%; 10m=83,73%), sedangkan di daerah TN Wakatobi suhu rata – rata bulanan tertinggi pada musim barat sebesar 30,73oC (Anomaly : -3,23o – 0,64oC) di bulan Desember (Prevalence: 5m=23,55%; 10m=50,94%). Kisaran anomaly menunjukkan bahwa SST tidak berpengaruh signifikan terhadap coral bleaching/mass bleaching. Berdasarkan data lapangan menunjukkan hasil adanya bleaching di ketiga lokasi survey meskipun tidak bleachin secara massal. Jadi bisa diasumsikan bahwa pada lokasi penelitian ada faktor lain yang mempengaruhi (seperti kualitas air, Kompetisi, predator, aktifitas manusia, dll). Cat: Prevalence=nilai rerata karang yang mengalami bleaching dan disease/penyakit.

Sedangkan terjadinya coral disease dan bleaching terkait dengan kualitas air laut di ke tiga lokasi tersebut adalah KKP Raja Ampat berkorelasi tinggi dengan kandungan fosfat dan pH. korelasi antarparameter fisika-kimia tertinggi terjadi pada salinitas-suhu dan korelasi terendah terjadi pada ammonia-salinitas. TN Bunaken Terjadi coral disease/bleaching mempunyai hubungan yang erat dengan meningkatnya nilai TSS, namun tidak diimbangi dengan meningkatnya nitrat. korelasi antarparameter fisika-kimia pada kedalaman 5 m dapat dilihat pada fosfat dan khlorofil, sedangkan korelasi terkecil terdapat pada fosfat dan nitrat. Interpretasi yang didapat bahwa terjadinya coral disease/bleaching ini diduga ditandai dengan meningkatnya nilai fosfat dan khlorofil, namun didukung oleh nilai nitrat. 10 m memiliki korelasi tertinggi  antara suhu dan salinitas dan yang terendah antara  ammonia dan. Berdasarkan data ini, dapat diasumsikan bahwa apabila terjadi kenaikan suhu dan salinitas, maka akan berdampak pada coral disease/bleaching. TN Wakatobi lebih dicirikan oleh parameter kimia dibandingkan fisika. Parameter kimia yang mencirikan stasiun ini adalah pH, nitrat, dan Khlorofil sedangkan parameter fisika yang mencirikan stasiun ini adalah suhu dan TSS.

 Beberapa karang yang mengalami bleaching dan diseased:

Salah satu contoh hasil analisa sampel kualitas air laut dengan menggunakan metode

Principal Component Analysis (PCA) / Analisis Komponen Utama (AKU).

Gambar 7. Grafik AKU pada Kedalaman 5 m TN Bunaken Tahun 2009. (a) Sebaran Stasiun Pengamatan berdasarkan parameter lingkungan (b) Parameter Fisika-Kimia yang diamati.

Berdasarkan gambar 7. yang berisikan matriks korelasi antar parameter fisika-kimia, terjadinya coral disease (CD) atau bleaching di Taman Nasional Bunaken pada Kedalaman 10 m memiliki korelasi tertinggi  antara suhu dan salinitas (0.924) dan yang terendah antara  ammonia dan TSS (-0.892). Berdasarkan data ini, dapat diasumsikan bahwa apabila terjadi kenaikan suhu dan salinitas, maka akan berdampak pada coral disease/bleaching, sedangkan ammonia dan TSS tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap coral disease/bleaching. Hubungan antara ammonia bersifat tidak linear.

Data/gambar di atas sewaktu survey di Pemuteran 28 April 2010. Kisaran suhu 31 derajat Celcius (Sudah melebihi trsehold). dan TSS menurut baku mutu air laut untuk biota adalah 20mg/l akan tetapi di Pemuteran sudah mencapai 33mg/l bahkan ada yang sampai 40 mg/l. Yang mengalami bleaching dominan adalah dari Genus Acropora dan Porites -+ 40-60%.

Summary of the bleaching report in Indonesia
Areas Date of observation (2010) Data Reported by e-mail date of the report Note
All Gilis, Lombok May-June Sander Buis/Ocean5 buis.sander@gmail.com

1-Jun

In early April, survey at other gili shows no bleaching.  It means that the bleaching get more extensive and severe. RCFI/Jari/Ocean 5 and others will conduct IUCN reef resilience survey next week or next two weeks.
Badi Island, Spermonde by photos Ondo/TNC muhajir3012@gmail.com

31-May

Wakatobi

20-May

from news paper Muchtar mukhtar_api@yahoo.co.id

23-May

Lebo,  Parigi Moutong district, Tomini Bay

23-May

90% Pocilopora 80-100% bleaching Samlio/yayasan Palu Hijau samndobe@yahoo.com

27-May

5% branching coral 5-50% bleaching
Lypah, Amed, Bali early May visible from land Vicky Kleyer/Euro Dive eurodive@telkom.net

13-May

RCFI/Euro dive and other stakeholders will conduct IUCN reef resilience survey in July
Pemuteran, North Bali

28-Apr

40-60% hard coral, especially Acropora and Porites E. Elvan Ampou

12-May

Situbondo, Java end of April Dian Saptarani/ITS dianssa@yahoo.com

11-May

Gilis, Lombok early May Ibnu Sabil sabily_06@yahoo. co.id

11-May

Misool, R4 May (?) anecdotal Sangeeta/TNC smangubhai@TNC.ORG

11-May

Wakatobi 17-27 April 60-65% of corals surveyed showed some signs of bleaching with 10-17% of colonies recorded as fully bleached (white) Joanne Wilson/TNC joanne_wilson@tnc.org

11-Apr

Full report available
Almost all colonies of Seriatopora were white and other taxa with high percentage of white / moderate colonies include Goniopora, Stylopora and encrusting forms of Montipora. In addition 20-30% of colonies of Pocillopora, non-Acropora branching and Acropora palifera were also classified as moderate to white. Least affected taxa included branching forms of Acropora and massive species (excluding Faviidae).
Gili Air

9-Apr

<10% hard coral bleached: Acropora table, Pocillipora, Acropora branching, Favia, Seriotopora hystrix Naneng Setiasih/Reef Check Foundation Indonesia nsetiasih@reefcheck.or.id

9-Apr

using reefbase protocol
Gili Air

9-Apr

some coral needle white, some coral table pale and white, some coral table pale, few other kind of life form white or pale. Simone/Ocean 5 simone@ocen5.com using WWF public bleaching protocol
West of Aceh end of March anecdotal Joni/Ibnu Azam- FFI and Jeri/ODC ibnu.azam@ffi.or.id, odc.atjeh@hotmail.com

31-Mar

Kompilasi: N. Setiasih-Reefcheck.

Pada Bulan November 2009 di 18 lokasi di Kepulauan Seribu pada kedalaman -+ 7m dari 6932 koloni karang keras, 397 koloni atau 5,73% terkena dampak disease dan syndrome. (Estradivari, dkk. Yayasan Terangi-Indonesia).

SEKIAN DAN TERIMA KASIH – SEMOGA BERMANFAAT

Tinggalkan komentar